BERAKHIRNYA ORDE BARU
Krisis Politik
Tahukah kalian kapan proses kejauhan pemerintahan
Orde Baru ? Apa hubungan berakhirnya pemerintahan Orde Baru dengan adanya krisis ekonomi yang melanda
Negara-negara di Asia ? Jatuhnya pemerintahan Orde Baru diawali dengan adanya krisis ekonomi dan krisis politik yang
berkepanjangan. Sebenarnya ketimpangan-ketimpangan ekonomi dan
konflik-kon-konflik sosial politik telah berlangsung sejak orde baru berdiri.
Kebijakan poltik dan ekonomi Orde Baru cenderung bertujuan memelihara status
quo/melanggengkan kekuasaan. Kebijakan-kebijakan Orde Baru yang menyimpang
tersebut, pada gilirannya memunculkan krisis di berbagai kehidupan yaitu krisis
politik, krisis ekonomi, dan krisis sosial.
Terjadinya
krisis politik disebabkan oleh sistem pemerintahan yang militeristik dan
sentralistrik. Dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa pemerintah
bersikap subversif dan keras terhadap pihak oposisi. Hal tersebut dapat dilihat
pada perlakuan yang keras pada setiap orang atau kelompok yang melakukan kritik
terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan
pemerintah Orde Baru semakin mendukung praktik-praktik KKN, pelanggaran hukum
dan HAM, monopoli, serta oligopoli.
Sejak awal
tahun 1996 muncul gugatan terhadap paket lima undang-undang politik oleh
kelompok mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan para cendekiawan.
Berikut lima paket undang-undang politik yang menjadi sumber ketidak adilan.
1. UU No. 1
Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum.
2. UU No. 2
Tahun 1985 tentang Susunan,Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR/MPR.
3. UU No. 3
Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan karya.
4. UU No. 5
Tahun 1985 tentang Referendum.
5. UU No. 8
Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Pada waktu
yang sama juga dilakuan gugatan terhadap praktik monopoli, kolusi, korupsi,
nepotisme, serta kebijakan kekaryaan dari dwifungsi ABRI yang menimbulkan peran
sosial politik ABRI yang besar dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Masyarakat juga menuntut adanya pembatasan waktu dalam jabatan
kepresidenan.
Kehidupan
politik di Indonesia mulai memanas setahun sebelum pelaksanaan pemilu tahun
1997. Pemerintah yang di dukung oleh Golkar berusaha mempertahankan kemenangan
mutlak yang telah dicapai dalam lima pemilu sebelumnya. PPP, PDI, dan Golkar
pada waktu itu dianggap tidak mampu lagi memenuhi aspirasi politik sebagian
masyarakat. Di tengah pertikaian tersebut terjadi peristiwa pada tanggal 27
Juli 1996. Terjadinya peristiwa tersebut bermula dari perebutan kantor pusat
PDI yang ada di Jalan Diponegoro, Jakarta oleh dua kelompok yang berbeda.
Golkar
menang mutlak pada pemilu tahun 1997. Kemenangan Golkar tersebut diikuti dengan
munculnya dukungan terhadap Soeharto
untuk menjadi presiden dalam Sidang Umum MPR 1998. Pencalonan kembali Soeharto
sebagai presiden tersebut tidak dapat dipisahkan dari komposisi anggota MPR/DPR
yang menguntungan pihak penguasa.
Di tengah
ketegangan politik tersebut, muncul persoalan lain yang dihadapi bangsa
Indonesia. Persoalan tersebut adalah krisis moneter. Adapun akibat dari krisis
moneter adalah kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Soeharto semakin
berkurang hingga muncul demonstrasi mahasiswa yang menuntut reformasi total.
Demonstrasi-demonstrasi
mahasiswa tersebut melibatkan pula para staf akademis maupun pimpinan
universitas. Adapun garis besar tuntutan mahasiswa dalam aksi-aksinya di kampus
di berbagai kota, yaitu tuntutan penurunan harga sembako (Sembilan bahan pokok),
penghapusan monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), serta suksesi
kepemimpinan nasional. Aksi-aksi mahasiswa tersebut tidak mendapatkan tanggapan
dari pemerintah. Hal itu menyebabkan para mahasiswa di berbagai kota mulai
mengadakan aksi hingga keluar kampus. Maraknya aksi-aksi mahasiswa yang sering
berlanjut menjadi bentrokan dengan aparat keamanan membuat Menhankam/Pangab,
Jenderal Wiranto, mencoba meredamnya dengan menawarkan dialog. Dari dialog
tersebut diharapkan terjalin komunikasi antara pemerintah an mahasiswa. Namun
mahasiswa menganggap bahwa dialog tersebut pengunduran diri Presiden Soeharto.
Menurut para mahasiswa, mitra dialog yang ling efektif adalah lembaga
kepresidenan dan MPR.
Krisis
Ekonomi
Pembangunan nasional Indonesia
selama pemerintahan Orde Baru terlihat sangat berhasil. Pada tahun 1960-1970 pendapatan
per kapita masyarakat Indonesia sekitar US$70, sedangkan pada tahun 1997
mencapai US$1.185. Peningkatan tersebut merupakan pertumbuhan yang luar biasa,
tetapi hal itu di bangun atas fondasi ekonomi yang keropos. Pertumbuhan yang
dicapai hanya semu belaka, karena berasal dari utang luar negeri. Keroposnya
perekonomian Indonesia semakin parah karena tindakan para konglomerat yang
menyalahgunaan posisi mereka sebagai pelaku pembangunan ekonomi. Para
konglomerat tersebut mengeruk banyak
utang tanpa ada kontrol dari pemerintah dan dari masyarakat. Hal ini terjadi
dengan leluasa karena berkembangnya budaya KKN.
Perekonomian negara-negara di
Asia Tenggara (seperti di Indonesia, Malaysia, dan Thailand) pada pertengahan
tahun 1997 terguncang karena secara tiba-tiba nilai tukar dollar Amerika
Serikat melonjak. Ribuan perusahaan bangkrut dan jutaan orang menganggur. Walaupun
banyak faktor yang menyebakan krisis moneter tersebut, tetapi salah satu
penyebab utamanya adalah para spekulen valuta asing yang telah memborong dollar
penyebab utamanya adalah para spekulan valuta asing yang telah memborong dollar
kemudian menjualnya dengan harga tinggi, sehingga mata uang Negara ASEAN
terpuruk. Adapun spekulan uang terbesar pada era krisis adalah George Soros.
Situasi tersebut mendorong
Presiden Soeharto meminta bantuan dari International Monetary Fund (IMF).
Persetujuan bantuan IMF dilakukan pada bulan Oktober 1997 dengan syarat
pemerintah Indonesia harus melakuka pembaruan kebijakan-kebijakan, terutama
kebijakan ekonomi. Di antara syarat-syarat tersebut adalah penghentian subsidi
dan penutupan 16 bank swasta. Namun usaha ini tidak menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Upaya pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah , melalui Bank
Indonesia dengan melakukan intervensi pasar tidak mampu membendung nilai tukar
rupiah yang terus merosot.
Kondisi tersebut membuat Presiden
Soeharto menerima proposal reformasi IMF pada tanggal 15 Januari 1998 dengan
ditandatanganinya Letter of Intent (Nota Kesepakatan) antara Presiden Soeharto
dan Direktur Pelaksana IMF Michele Camdessus. Namun, kemudian Presiden Soeharto
menyatakan bahwa paket IMF yang ditandatanganinya membawa Indonesia pada sistem
ekonomi liberal. Hal itu meyiratkan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan
melaksanakan perjanjian IMF yang berisi 50 butir kesepakatan tersebut. Situasi
tarik-menarik antara pemerintah dan IMF tersebut menyebabkan krisis ekonomi
semakin memburuk.
Pada masa Orde Baru, krisis
ekonomi tersebut menjadi pemicu munculnya ketidakpuasan dari krisis-krisis yang
lain. Berikut akibat terjadinya krisis ekonomi.
1. Pemerintah
membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi empat puluh
bank bermasalah lainnya.
2. perusahaan
milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang
akan dan telah jatuh tempo
3. krus
rupiah terhadap dollar Amerika melemah pada tanggal 1 Agustus 1997
4. persediaan
barang nasional, khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada
akhir tahun 1997. Akibatnya harga-harga barang naik tidak terkendali dan biaya
hidup juga semakin tinggi
5. Pemerintah
melikuidasi enam belas bank bermasalah pada akhir tahun 1997
6. Kepercayaan
dunia internasional terhadap Indonesia menurun
7. angka
pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat karena banyak perusahaan yang
melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya sama sekali
Krisis
Sosial
Terjadinya
krisis sosial disebabkan oleh perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional
yang menimbulkan ketimpangan ekonomi yang besar, monopoli sumber ekonomi oleh kelompok
tertentu, dan konglomerasi. Hal tersebut kemudian semakin memperburuk
kesenjangan sosial antara kelas atas dan kelas bawah sehingga menimbulkan
kecemburuan sosial yang terus terakumulasi.
Di tengah
maraknya demonstrasi mahasiswa dan komponen masyarakat lainnya, pada tanggal 4
Mei 1998 pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM dan tarif dasar
listrik. Kebijakan yang diambil pemerintah tersebut bertentangan dengan
tuntutan yang berkembang pada waktu itu. Naiknya harga BBM dan tarif dasar
listrik semakin memicu gerakan massa karena kebijakan tersebut berdampak pula
pada naiknya biaya angkutan dan barang kebutuhan lainnya.
Dengan
kondisi Negara yang sedang mengalami krisis tersebut, Presiden Soeharto, pada
tanggal 9 Mei 1998, berangkat ke Kairo Mesir untuk menghadiri Konferensi G 15.
Di dalam pesawat menjelang keberangkatannya Presiden Soeharto meminta
masyarakat untuk tenang dan memahami kenaikan harga BBM. Selain itu, Presiden
Soeharto juga menyerukan kepada lawan-lawan politiknya bahwa pasukan keamanan
akan menangani dengan tegas setiap gangguan yang muncul. Meskipun demikian
kerusuhan tetap tidak dapat dipadamkan dan gelombang demonstrasi dari berbagai
kalangan terus berlangsung.