Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi pada Masa Orde Baru
Tahukah kalian, apa dampak dari adanya
kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Orde
Baru? Secara umum pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru
dalam menegakkan stabilitas nasional memang berhasil menciptakan suasana yang
aman bagi masyarakat. Pembangunan ekonomi berjalan baik dengan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana
dengan baik. Bangsa Indonesia berhasil mengubah status dari Negara pengimpor
bera menjadi bangsa yang bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri. Berikut akan
saya bahas materi tentang dampak kebijakan politik ekonomi pada masa Orde Baru.
Kebijakan
politik dan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru memberikan
beberapa dampak di bidang ekonomi dan politik. Berikut adalah dampak kebijakan
pemerintah Orde Baru dalam bidang politik.
I.
Pemerintah Orde Baru cenderung bersifat otoriter
II.
Presiden mempunyai kekuasan yang sangat besar dalam
mengatur jalannya pemerintahan
III.
Peran Negara menadi semakin kuat yang menyebabkan
timbulnya pemerintahan yang sentralistis. Pemerintahan sentralistis ditandai
dengan adanya pemusatan penentuan kebijakan ublik pada pemerinta pusat.
Pemerintah daerah diberi peluang sangat kecil untuk mengatur pemerintahan dan
mengelola anggaran daerahnya sendiri. Keotoriteran merambah segenap aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk kehidupan politik.
Pemerintah
Orde Baru dinlai gagal memberikan
pelajaran demokrasi. Golkar dianggap menjadi alat politik untuk mencapai
stabilitas yang diinginkan, sementara dua partai yang lain hanya sebagai alat
pendamping agar tercipta citra sebagai Negara demokrasi. Sistem perwakilan
bersifat semu. Demokratisasi yang terbentuk didasarkan pada KKN (korupsi, kolusi
dan nepotisme), sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR yang tidak
mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya.
Walaupun
dalam pembangunan ekonomi pemerintahan Orde Baru menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan, tetapi ada dampak negatifnya. Dampak negatif tersebut
disebabkan oleh kebjakan Orde Baru yang teralu memfokuskan/mengejar pada
pertumbuhan ekonomi, yang berdampak buruk bagi terbentuknya mentalitas dan
budaya korupsi para pejabat di Indonesia. Distribusi hasil pembangunan dan
pemanfataan dana untuk pembangunan tidak dibarengi dengan kontrol yang efektif
dari pemerintah terhadap aliran dan
tersebut. Pertumbuhan ekonomi tidak
dibarengi dengan terbukanya akses dan distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi
kepada masyarakat. Hal ini berdampak pada munculnya kesenjangan sosial dalam
masyarakat Indonesia, kesenjangan kota dan desa, kesenjangan kaya dan miskin,
serta kesenjangan sektor industri dan sektor pertanian.
Selain
masalah tersebut, tidak sedikit pengamat hak asasi manusia (HAM) dari dalam dan
dari luar negeri yang menilai bahwa pemerintahan Orde Baru telah melakukan
tindakan antidemokrasi dan diindikasikan telah melanggar HAM. Amnesty
International misalnya dalam laporannya pada tanggal 10 Juli 1991 menyebut
Indonesia dan beberapa Negara Timur Tengah, Asia Pasifik, Amerika Latin dan
Eropa Timur sebagai pelanggar HAM. Human Development Program (UNDP) juga
menempatkan Indonesia pada urutan ke-77 dari 88 pelanggar HAM.
Sekalipun
Indonesia menolak laporan kedua lembaga internasional tersebut dengan alasan
tidak “fair” dan kriterianya tidak jelas, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa
di dalam negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah melakukan beberapa
tindakan yang berindikasi pelanggaran HAM. Dengan adanya situasi tersebut,
keberhasilan pembangunan yang menjadi kebanggan Orde Baru yang berhasil meningkatkan
GNP Indonesia ke tingkat US$600 di awal tahun 1980-an, kemudian meningkat lagi
sampai US$1.300 perkapita diawal dekade tahun 1990-an serta menobatkan Presiden
Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan” menjadi seolah tidak bermakna. Hal
tersebut karena pertumbuhan ekonomi yang meningkat tetapi secara fundamental
pembangunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah.
Faktor tersebut yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab terpuruknya
perekonomian Indonesia menjelang akhir tahun 1997.