Kronologi Pengunduran Diri Presiden Soeharto Lengkap

Kronologi Pengunduran Diri Presiden Soeharto

kronologi pengunduran diri presiden soeharto. sejarah lengsernya presiden soeharto. penyebab turunnya soeharto dari jabatan presiden. kronologi singkat reformasi 1998. kronologi kerusuhan mei 1998. 21 mei 1998 adalah peristiwa. kronologi jatuhnya orde baru secara singkat. cerita mengapa soeharto lengser. tragedi 21 mei 1998.

          Menjelang Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998 banyak tuntutan dari rakyat dan mahasiswa yang mengiginkan agar Presiden Soeharto tidak lagi dicalonkan dan mencalonkan diri sebagai presiden, tetapi ternyata suara-suara kritis yang menuntut perubahan tersebut tidak mendapat jawaban seperti yang diharapkan. Pada pemilu tahun 1997 kembali dimenangkan Golkar dan mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden melalui Sidang Umum MPR (tanggal 1-11 Maret 1998)

Dengan terpilihnya kembali Soeharto sebagai prsiden ternyata tidak menimbulkan dampak yang positif untuk pemulihan kondisi ekonomi Indonesia, bahkan memperarah gejolak krisis dan muncul silih berganti aksi mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerk menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunnya harga sembako, penghapusan KKN, dan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan.

Dalam rangka untuk memperingati hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan pada tanggal 20 Mei 1998 gerakan mahasiswa merencanakan sebagai momen hari Reformasi Nasional. Namun kerusuhan terjadi lebih awal dan di luar dugaan. Pada tanggal 12 Mei 1998 empat mahasiswa dari Universitas Trisakti, Jakarta meninggal tertembak peluru aparat keamanan pada waktu sedang berdemonstrasi menuntut Soearto mundur.

Mereka adalah Elang Mulya Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidin Royan. Mereka tertembak pada waktu ribuan mahasiswa Trisakti dan lainnya baru memasuki kampusnya setelah melakukan demostrasi di gedung MPR. Sebelum kejadian Trisakti tersebut, pada tanggal 8 Mei 1998 seorang mahasiswa dari Yogyakarta yang bernama Moses Gatotkaca juga meninggal dalam sebuah bentrokan dengan aparat keamanan pada waktu melakukan aksi menuntut mundurnya Presiden Soeharto.

Penembakan aparat di Universitas Trisakti tersebut menyulut munculnya demonstrasi yang lebih besar lagi. Pada tanggal 31 Mei 1998 terjadi kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta dan di Solo. Kondisi tersebut memaksa Presiden Soeharto mempercepat kepulangannya dari Mesir. Mulai tanggal 14 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa semakin luas. Bahkan, para demonstran mulai menduduki gedung-gedung pemerintah di pusat dan daerah.

Mahasiswa Jakarta menjadikan gedung MPR/DPR sebagai pusat gerakan. Ratusan Ribu mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR. Para demostran berupaya menemui pimpinan MPR/DPR agar mengambil sikap yang tegas. Akhirnya, pada tanggal 18 Mei 1998 Ketua MPR/DPR Harmoko meminta Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia

Untuk mengatasi keadaan tersebut, Presiden Soeharto menjanjikan akan mempercepat pemilu. Pada tanggal 19 Mei 1998, Presiden mengundang Sembilan tokoh masyarakat ke Istana Negara. Agendanya adalah membahas segala kemungkinan penanganan krisis Negara. Sembilan tokoh tersebut adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie, Malik Fajar, Choil Baidlowi, Sutrisno Muhdam, Ma’aruf Amin, dan Ahmad Bagdja. Selain Sembilan tokoh tersebut, hadir pula Yusril Ihza Mahendra, Sekretaris Militer Presiden Mayjen Jasril Yakup, dan ajudan presiden. Dalam pertemuan tersebut dicapai kesepakatan untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Komite Reformasi. Adapun tugas dari Komite Reformasi adalah menyelesaikan Undang-Undang Kepartaian, UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan MPR/DPR serta DPRD, UU Antimonopoli, UU Antikorupsi, dan lain-lain. Dalam pertemuan tersebut juga disepakati bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VII dan mengubah nama susunan kabinet menjadi Kabinet Reformasi.

Rencananya momentum hari Kebangkitan Nasional 20Mei 1998  digunakan oleh tokoh reformasi Amien Rais untuk mengadakan doa bersama di sekitar Tugu Monas. Namun Amin Rais mmembatalkan rencana tersebut karena 80.000 tentara bersiaga di sekitar Tugu Monas.

Di Yogyakarta, Surakarta, Medan dan Bandung ribuan mahasiswa dan rakyat berdemonstrasi. Pada tanggal 19 Mei 1998 seluruh civitas akademika UGM yang dibacakan rector UGM, Prof. Dr. Ichlasul Amal menuntut agar Presiden Soeharto mundur dari kursi kepresidenan. Mereka juga mendesak agar segera dibentuk presidium pimpinan nasional yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas.

Di Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1998 terjadi demonstrasi besar-besaran yang berlangsung tertib di alun-alun Keraton Yogyakarta. Lautan manusia dengan antusias mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Buwana X dan Paku Alam VIII tentang tuntutan reformasi. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Pasowanan Ageng. Adapun inti dari maklumat tersebut adalah menganjurkan kepada seluruh masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.

Pada tanggal 20 Mei 1998 juga, di gedung MPR/DPR telah penuh oleh mahasiswa dari berbagai elemen. Tokoh masyarakat, seperti Amien Rais dan Emil Salim menyatakan kekecewaan dengan keputusan Presiden Soeharto tersebut. Penyebabnya adalah Presiden Soeharto meminta pemberian waku enam bulan untuk menggelar pemilihan umum ecara konstitusional.

Emil Salim melalui Gema Madani menyerukan agar Presiden Soeharto melaksanakan niatnya untuk lengser keprabon (turun dari takhta kekuasaan) pada saat itu juga tanggal 20 Mei 1998. Pada tanggal 20 Mei 1998, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Madeleine Albright juga memberikan pernyataannya, yaitu meminta Presiden Soeharto untuk segera mundur. Ia menyatakan bahwa pengunduran dirinya sudah seharusnya dilakukan untuk memberi jalan bagi transisi demokrasi di Indonesia dan menegaskan bahwa kesempatan ini merupakan momentum bagi Presiden Soeharto untuk menorehkan langkah seorang negarawan.

Empat belas menteri yang berada di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita, pada tanggal 20 Mei 1998 pukul 14.30 WIB menyatakan penolakannya untuk dicalonkan kembali di dalam Kabinet Reformasi. Penolakan tersebut berakibat pembentukan Kabinet Reformasi mengalami kegagalan.

Pada tanggal 16.45 WIB, berlangsung pertemuan antara perwakilan mahasiswa dan pimpinan MPR/DPR di lantai gedung MPR/DPR. Dalam pertemuan tersebut, mahasiswa memberikan batas waktu pengunduran diri Soeharto sehingga hari jumat tanggal 22 Mei 1998. Apabila tidak ada kepastian lebih lanjut, pada hari Senin tanggal 25 Mei 1998 pimpinan DPR akan mempersiapkan Sidang Istimewa MPR.


Puncak aksi di gedung DPR/MPR pada tanggal 21 Mei 1998. Pada tanggal itu juga Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi presiden Republik Indonesia. Dengan disaksikan oleh ketua dan anggota Mahkamah Agung, di Credential Room Istana Negara Jakarta, Soeharto mengakhiri jabatannya sebagai presiden yang telah diembannya selama 32 tahun.

Naskah pengunduran diri Soeharto ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra yang berjudul Pernyataan Berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia. Sesuai dengan pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya,” dengan berpedoman pada pasal 8 UUD 1945 tersebut, setelah pengunduran diri Sooeharto, Mahkamah Agung langsung melantik Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai presiden Republik Indonesia yang baru. Sejak saat itu, presiden Republik Indonesia yang ke-3 dijabat oleh B. J. Habibie. Momentum turunnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 tersebut mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.



Share this

Related Posts

Previous
Next Post »