Kronologi Pengunduran Diri Presiden Soeharto
Menjelang Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998
banyak tuntutan dari rakyat dan mahasiswa yang mengiginkan agar Presiden
Soeharto tidak lagi dicalonkan dan mencalonkan diri sebagai presiden, tetapi
ternyata suara-suara kritis yang menuntut perubahan tersebut tidak mendapat
jawaban seperti yang diharapkan. Pada pemilu tahun 1997 kembali dimenangkan
Golkar dan mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden melalui Sidang Umum
MPR (tanggal 1-11 Maret 1998)
Dengan terpilihnya kembali Soeharto
sebagai prsiden ternyata tidak menimbulkan dampak yang positif untuk pemulihan
kondisi ekonomi Indonesia, bahkan memperarah gejolak krisis dan muncul silih
berganti aksi mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerk menggelar demonstrasi
dan aksi keprihatinan yang menuntut turunnya harga sembako, penghapusan KKN,
dan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan.
Dalam rangka untuk memperingati hari
Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan pada tanggal 20 Mei 1998 gerakan
mahasiswa merencanakan sebagai momen hari Reformasi Nasional. Namun kerusuhan
terjadi lebih awal dan di luar dugaan. Pada tanggal 12 Mei 1998 empat mahasiswa
dari Universitas Trisakti, Jakarta meninggal tertembak peluru aparat keamanan
pada waktu sedang berdemonstrasi menuntut Soearto mundur.
Mereka adalah Elang Mulya Lesmana,
Heri Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidin Royan. Mereka tertembak pada waktu
ribuan mahasiswa Trisakti dan lainnya baru memasuki kampusnya setelah melakukan
demostrasi di gedung MPR. Sebelum kejadian Trisakti tersebut, pada tanggal 8
Mei 1998 seorang mahasiswa dari Yogyakarta yang bernama Moses Gatotkaca juga
meninggal dalam sebuah bentrokan dengan aparat keamanan pada waktu melakukan
aksi menuntut mundurnya Presiden Soeharto.
Penembakan aparat di Universitas
Trisakti tersebut menyulut munculnya demonstrasi yang lebih besar lagi. Pada
tanggal 31 Mei 1998 terjadi kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta
dan di Solo. Kondisi tersebut memaksa Presiden Soeharto mempercepat kepulangannya
dari Mesir. Mulai tanggal 14 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa semakin luas.
Bahkan, para demonstran mulai menduduki gedung-gedung pemerintah di pusat dan
daerah.
Mahasiswa Jakarta menjadikan gedung
MPR/DPR sebagai pusat gerakan. Ratusan Ribu mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR.
Para demostran berupaya menemui pimpinan MPR/DPR agar mengambil sikap yang
tegas. Akhirnya, pada tanggal 18 Mei 1998 Ketua MPR/DPR Harmoko meminta
Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia
Untuk mengatasi keadaan tersebut,
Presiden Soeharto menjanjikan akan mempercepat pemilu. Pada tanggal 19 Mei
1998, Presiden mengundang Sembilan tokoh masyarakat ke Istana Negara. Agendanya
adalah membahas segala kemungkinan penanganan krisis Negara. Sembilan tokoh tersebut
adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie, Malik
Fajar, Choil Baidlowi, Sutrisno Muhdam, Ma’aruf Amin, dan Ahmad Bagdja. Selain
Sembilan tokoh tersebut, hadir pula Yusril Ihza Mahendra, Sekretaris Militer
Presiden Mayjen Jasril Yakup, dan ajudan presiden. Dalam pertemuan tersebut
dicapai kesepakatan untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Komite
Reformasi. Adapun tugas dari Komite Reformasi adalah menyelesaikan
Undang-Undang Kepartaian, UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan MPR/DPR serta
DPRD, UU Antimonopoli, UU Antikorupsi, dan lain-lain. Dalam pertemuan tersebut
juga disepakati bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle Kabinet
Pembangunan VII dan mengubah nama susunan kabinet menjadi Kabinet Reformasi.
Rencananya momentum hari Kebangkitan
Nasional 20Mei 1998 digunakan oleh tokoh
reformasi Amien Rais untuk mengadakan doa bersama di sekitar Tugu Monas. Namun
Amin Rais mmembatalkan rencana tersebut karena 80.000 tentara bersiaga di
sekitar Tugu Monas.
Di Yogyakarta, Surakarta, Medan dan
Bandung ribuan mahasiswa dan rakyat berdemonstrasi. Pada tanggal 19 Mei 1998
seluruh civitas akademika UGM yang dibacakan rector UGM, Prof. Dr. Ichlasul
Amal menuntut agar Presiden Soeharto mundur dari kursi kepresidenan. Mereka juga
mendesak agar segera dibentuk presidium pimpinan nasional yang terdiri dari
tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas.
Di Yogyakarta pada tanggal 20 Mei
1998 terjadi demonstrasi besar-besaran yang berlangsung tertib di alun-alun Keraton
Yogyakarta. Lautan manusia dengan antusias mendengarkan maklumat dari Sri
Sultan Hamengku Buwana X dan Paku Alam VIII tentang tuntutan reformasi.
Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Pasowanan Ageng. Adapun inti dari
maklumat tersebut adalah menganjurkan kepada seluruh masyarakat untuk
menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 20 Mei 1998 juga, di
gedung MPR/DPR telah penuh oleh mahasiswa dari berbagai elemen. Tokoh
masyarakat, seperti Amien Rais dan Emil Salim menyatakan kekecewaan dengan
keputusan Presiden Soeharto tersebut. Penyebabnya adalah Presiden Soeharto
meminta pemberian waku enam bulan untuk menggelar pemilihan umum ecara
konstitusional.
Emil Salim melalui Gema Madani
menyerukan agar Presiden Soeharto melaksanakan niatnya untuk lengser keprabon
(turun dari takhta kekuasaan) pada saat itu juga tanggal 20 Mei 1998. Pada
tanggal 20 Mei 1998, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Madeleine Albright
juga memberikan pernyataannya, yaitu meminta Presiden Soeharto untuk segera
mundur. Ia menyatakan bahwa pengunduran dirinya sudah seharusnya dilakukan
untuk memberi jalan bagi transisi demokrasi di Indonesia dan menegaskan bahwa
kesempatan ini merupakan momentum bagi Presiden Soeharto untuk menorehkan
langkah seorang negarawan.
Empat belas menteri yang berada di
bawah koordinasi Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita, pada tanggal 20 Mei 1998
pukul 14.30 WIB menyatakan penolakannya untuk dicalonkan kembali di dalam
Kabinet Reformasi. Penolakan tersebut berakibat pembentukan Kabinet Reformasi
mengalami kegagalan.
Pada tanggal 16.45 WIB, berlangsung
pertemuan antara perwakilan mahasiswa dan pimpinan MPR/DPR di lantai gedung
MPR/DPR. Dalam pertemuan tersebut, mahasiswa memberikan batas waktu pengunduran
diri Soeharto sehingga hari jumat tanggal 22 Mei 1998. Apabila tidak ada kepastian
lebih lanjut, pada hari Senin tanggal 25 Mei 1998 pimpinan DPR akan
mempersiapkan Sidang Istimewa MPR.
Puncak aksi di gedung DPR/MPR pada
tanggal 21 Mei 1998. Pada tanggal itu juga Presiden Soeharto mengumumkan
pengunduran dirinya dari posisi presiden Republik Indonesia. Dengan disaksikan
oleh ketua dan anggota Mahkamah Agung, di Credential Room Istana Negara
Jakarta, Soeharto mengakhiri jabatannya sebagai presiden yang telah diembannya
selama 32 tahun.
Naskah pengunduran diri Soeharto
ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra yang berjudul Pernyataan Berhenti sebagai
Presiden Republik Indonesia. Sesuai dengan pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi “Jika
Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai
habis masa jabatannya,” dengan berpedoman pada pasal 8 UUD 1945 tersebut,
setelah pengunduran diri Sooeharto, Mahkamah Agung langsung melantik Wakil
Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai presiden Republik Indonesia yang
baru. Sejak saat itu, presiden Republik Indonesia yang ke-3 dijabat oleh B. J.
Habibie. Momentum turunnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 tersebut mengakhiri
pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.