Tritura
Lahirnya pemerintahan Orde Baru tidak dapat dilepaskan dengan kondisi sosial politik pada waktu itu. Pascapenumpasan G-30-S/PKI, pemerintah belum berhasil melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa G-30-S/PKI. Kondisi tersebut membuat situasi politik menjadi tidak stabil. Pada tanggal 25 Oktober 1965 di Jakarta, para mahasiswa pembentuk organiasi federasi yang dinamakan KAMI. KAMI dipimpin oleh Zamroni Dan PMII. Adapun anggota KAMI antara lain HMI, PMKRI, dan GMNI. Dalam transisi pemerintahan yang terjadi pada masa itu, peran para pemuda dan mahasiswa sangat penting. Tokoh tersebut seperti Abdul Ghafur, Cosmas Batubara, Subhan ZE, Hari Tjan Silalahi, dan Sulostomo menjadi penggerak aksi-aksi yang menuntut Presiden Soekarno agar segera menyelesaikan kemelutan politik pada waktu itu.
Adanya
peristiwa G-30-S/PKI telah menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia. Keamanan dan
keadaan politik Negara menjadi kacau, perekonomian memburuk, sedangkan upaya pemerintah
melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan bahan pokok menyebabkan timbulnya keresahan dalam masyarakat.
Kemudian muncul gerakan yang dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda,
mahasiswa, dan pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI). Selain itu juga muncul KABI
(buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dan kesatuan aksi lainnya.
Kesatuan-kesatuan aksi tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian politis
terhadap para pelaku dan orang-orang yang terlibat G-30-S/PKI. Pada tanggal 26
Oktober 1965 berbagai kesatuan aksi tersebut merapatkan barisan dalam satu
front yaitu Front Pancasila.
Situasi
yang tidak menentu dari keadaan ekonomi yang semakin memburuk mendorong para
pemuda dan mahasiswa mengajukan tri tuntutan hati nurani rakyat yang lebih
dikenal dengan nama tritura. Dengan dipelopori oleh KAMI dan KAPPI,
kesatuan aksi yang bergabung dalam Front
Pancasila pada tanggal 12 Januari 1966 mendatangi DPR GR dan mengajukan tiga
tuntutan. Tiga tuntutan tersebut adalah pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya,
pembersihan kabinet dari unsur-unsur PKI, dan penurunan harga/perbaikan
ekonomi.
Tuntutan
rakyat agar presiden membubarkan PKI tidak dipenuhi. Untuk menenangkan rakyat,
Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi kabinet 100
Menteri. Perubahan tersebut belum memuaskan hati rayat karena di dalam kabinet
tersebut masih ada tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa G-30-S/PKI.
Pada
tanggal 24 Februari 1966 waktu pelantikan Kabinet 100 Menteri, para mahasiswa,
pelajar, dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju ke Istana Merdeka. Namun aksi
tersebut dihadang oleh pasukan Cakrabirawa dan terjadilah bentrokan antara
pasukan Cakrabirawa dan para demonstran. Dalam peristiwa tersebut gugur Arief
Rahman Hakim, seorang mahasiswa dari Universitas Indonesia. Akibat dari
peristiwa tersebut keesokan harinya, tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan
keputusan Panglima KOmando Ganyang Malaysia (KOgam) yaitu Presiden Soekarno,
KAMI dibubarkan.
Keputusan
membubarkan KAMI tersebut oleh mahasiswa Bandung dibalas dengan mengeluarkan “Ikrar Keadilan dan
Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat untuk meneruskan
perjuangan. Perjuangan dilanjutkan dengan munculnya Kesatuan Aksi Pelajar
Indonesia (KAPI) dan mahasiswa membentuk Resimen Arief Rahman Hakim.
Protes
pembubaran KAMI tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa Bandung, tetapi juga
dilakukan oleh Front Pancasila. Front Pancasila meminta pemerintah agar
meninjau kembali pembubaran KAMI.
Pada
tanggal 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa melakukan demontrasi dan
mengobarik-abrik gedung Departemen Luar Negeri dan membakar Kantor Berita
Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua. Adanya aksi tersebut membuat presiden
Soekarno mengeluarkan perintah harian supaya seluruh komponen bangsa waspada
terhadap usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan” dan supaya
siap sedia untuk menghancurkan setia usaha yang langsung maupun tidak langsung
yang bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan, dan kebijaksanaan presiden.