Supersemar
Pada
tanggal 11 Maret 1966 di Istana Negara diadakan sidang kabinet dwikora yang
dipimpin langsung oleh presiden Soekarno. Tujuan sidang adalah mencari jalan
keluar agar dapat menyelesaikan krisis secara bijak. Ternyata sidang tersebut diboikot oleh para
demonstran yang tetap menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan PKI, dengan
melakukan pengempesan ban-ban mobil di jalan-jalan yang menuju ke istana. Ketika
sidang tengah berlangsung, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana
terdapat pasukan yang tidak dikenal. Untuk menghindari segala sesuatu yang tidak
diinginkan, maka Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan siding kepada Waperdam
II (Wakil Perdana Menteri II) Dr. J. Leimena. Dengan helikopter, Presiden
Soekarno menuju Istana Bogor. Seusai sidang kabinet, Dr. J. Leimena pun
menyusul ke Bogor.
Tiga orang
perwira tinggi angkatan darat yaitu Mayor Jenderal Basuki Rahmat, Brigadir
Jenderal M. Yusufdan Brigadir Jenderal Amir Mahmud menghadap Letnan Jenderal
Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin akan
menghadap presiden. Mayjen Basuki Rahmat menanyakan apakah ada pesan khusus
dari Letnan Jenderal Soeharto untuk Presiden Soekarno, Letjen Soeharto berpesan
agar disampaikan kepada Presiden Soekarno bahwa Letjen Soeharto sanggup
mengatasi keadaan apabila keadaan Presiden Soekarn memercayakan hal tersebut
kepadanya.
Adapun
latar belakang pesan Letjen Soeharto tersebut adalah bahwa sejak pertemuannya
dengan Presiden Soekarno di Bogor pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah
meletusnya pemberonakan G-30-S/PKI, antara Presiden Soekarno dan Letjen
Soeharto terjadi perbedaan pendapat mengenaikunci untuk meredkan pergolakan
politik pada waktu itu. Menurut Presiden Soekaeno, tidak mungkin membubarkan
PKI karena hal it bertentangan dengan doktrin Nasakom yang terlah dicanangkan.
Namu menurut Letjen Soeharto, pergolakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa
keadilan rakyat dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilagkan dengan jalan
membubarkan PKI yang telah melakukan pemberontakan. Dalam pertemuan-pertemuan
selanjutnya perbedaan paham tersbut tetap muncul hingga suatu ketika Letjen
Soeharto menyediakan diri untuk membubarkan KI asalkan mendapat mandate dari
Presiden Soekarno. Pesan Letjen Soeharto yng disampaikan oleh ketiga perwira
tinggi Angkatan Darat yang akan berangkat ke Bogor tersebut mengacu kepada
kesanggupan Letjen Soeharto.
Pada hari
itu juga, tiga orang perwira tinggi Angkatan Darat sepakat untuk menghadap
Presiden Soekarno di Istana Bogor dengan tujuan untuk meyakinkan kepada Presiden
Soekarno ABRI khususnya Angkatan Darat tetap siap siaga mengatasi keadaan. Di
Istana Bogor Presiden Soekarno didampingi Dr. Subandrio, Dr. J. Leimena, dan
Chairul Saleh. Ketiga perwira tinggi Angkatan Darat tersebut melaporkan
situsasi yang sebenarnya di ibu kota Jakarta bahwa tidak benar ada pasukan tidak
dikenal di sekitar istana dan ABRI khususnya TNI Angkatan Darat tetap setia dan
taat kepada Presiden Soekarno. Mereka juga memohon agar Presiden Soekarno
mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan.
Kemudian
presiden mengeluarkan surat perintah
yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan
Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban mengambil
tindakan untuk menjamin keamanan, ketenangan dan kestabilan jalannya pemerintah
demi keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Adapun yang
merumuskan surat perintah tersebut adalah Mayor Jenderal Basuki Rahmat,
Brigadir Jenderal M. Yusuf dan BrigadirJenderal Amir Mahmud bersama Brigadir
Jenderal Sabur, Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa. Suara itu yang
kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Ada
beberapa faktor yang melatarbelakangi lahirnya Supersemar, yaitu sebagai
berikut.
a) Situasi
Negara secara umum dalam keadaan kacau dan genting
b) Untuk
mengatasi situasi yang tidak menentu akibat pemberontakan G-30-S/PKI.
c) Untuk menyelamatkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d) Untuk
memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah
Isi
supersemar adalah pemberian mandat kepada letjen soeharto selaku menteri Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk
memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Dalam menjalankan tugasnya,
penerima mandat diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada presien. Keluarnya
supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.
Sebagai
tindak lanjut keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Letnan Jenderal Soeharto
sebagai pengemban Supersemar segera mengambil tindakan untuk menata kembali
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945, yaitu sebagai berikut.
a) Pada
tanggal 12 Maret 1966, dikeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan
larangan PKI beserta ormas-ormasnya. Keputusan tersebut diperkuat dengan
Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS No. 1/3/1966 Tanggal 12 Maret
1966. Keputusan pembubaran PKI beserta ormas-ormasya mendapat sambutan dan
dukungan dari seluruh rakyat karena merupakan salah satu realisasi dari tritura
b) Pada
tanggal 18 maret 1966 pengemban supersemar mengamankan 15 orang menteri yang
dinilai tersangkut dalam G-30-S/PKI dan dirgukan etika bainya yang dituangkan
dalam keputusan presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966
c) Pada
tanggal 27 Maret 1966 pengemban Supersemar membentuk Kabinet Dwikora yang
disempurnakan untuk menjalankan pemerintahan. Tokoh-tokoh yang duduk di dalam
kabinet ini adalah mereka yang jelas tidak terlibat dalam G-30-S/PKI
d) Memisahkan
jabatan pimpinan DPR GR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPR GR tidak
lagi diberi kedudukan sebagai menteri. MPRS dibersihkan dari unsur-unsur
G-30-S/PKI. Seperti halnya dengan DPR GR, keanggotaan PKI dalam MPRS dinyatakan
gugur. Sesuai dengan UUD 1945, MPRS mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
daripada lembaga kepresidenan.
Pada
tanggal 20 Juni sampai dengan 5 Juli 1966 diadakan Sidang Umum IV MPRS dengan
hasil sebagai berikut.
a) Ketetapan
MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
b) Ketetapan
MPRS No. X/MPRS/1966, Mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat
dan Daerah.
c) Ketetapan
MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik
Indonesia bebas aktif.
d) Ketetapan
MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
e) Ketetapan
MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang Bertentangan
dengan UUD 1945.
f) Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Perundangan-undangan di Indonesia.
g) Ketetapan
MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan PKI dan
ormas-ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia
Dengan
berakhirnya Sidang Umum IV MPRS, berarti landasan Orde Baru berhasil
ditegakkan. Demikian pula dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura) telah
dipenuhi, yaitu pembubaran PKI dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur PKI.
Sementara itu, tuntutan ketiga yaitu penurunan harga yang berarti perbaikan
bidang ekonomi belum diwujudkan. Hal itu terjadi karena syarat mewujudkan nya
perlu dilakukan dengan pembangunan secara terus-menerus dan membutuhkan waktu
yang cukup lama.