Dualisme Kepemimpinan Nasional
Memasuki
tahun 1966 terlihat adanya gejala krisis kepemimpinan yang mengarah pada
dualisme kepemimpinan. Untuk menugaskan Letjen Soeharto selaku pengemban Supersemar yang sudah ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966
untuk membentuk kabinet baru. Kabinet baru tersebut ditetapkan oleh MPRS dan
bernama Kabinet Ampera. Dengan adanya ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1996
tentang Kabinet Ampera, maka Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Dwikora yang
disempurnakan, kemudian Letjen Soeharto pada tanggal 25 Juli 1966 membentuk
Kabinet Ampera.
Kabinet
Ampera diresmikan pada tanggal 28 Juli 1966 dengan tugas pokok menciptakan
stabilitas politik dan ekonomi. Program kerja Kabinet Ampera disebut dengan
Caturkarya Kabinet Ampera. Isi Caturkarya adalah memperbaiki kehidupan rakyat
terutama di bidang sandang dan papan, melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan
Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968), melaksanakan politik luar
negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan
MPRS No. XI/MPRS/1966, serta melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan
antikolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Presiden
Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan
dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi tersebut berakibat munculnya dualisme
kepemimpinan nasinal yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan, sedangkan
Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan. Akibat dari hal tersebut menimbulkan
pertentangan politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung
Soekarno dan pendukung Soeharto. Hal itu jelas sangat membahayakan persatuan
dan kesatuan bangsa.
Dengan
dijadikannya Supersemar sebagai Tap. MPRS, secara hukum Supersemar tidak bisa
lagi dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno, bahkan secara hukum Soeharto
mempunyai kedudukan yang sama dengan Soekarno.
Presiden
Soekarno pada tanggal 22 Juni 1966 menyampaikan pidato “Nawaksara” dalam
persidangan MPRS. Nawa berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya Sembilan dan
aksara yang artinya huruf atau istilah. Isi pidato tersebut hanya menyinggung
sedikit sebab-sebab meletusnya peristiwa G-30-S/PKI. Hal tersebut tidak
memutuskan untuk minta kepada presiden agar melengkapi laporan
pertanggungjawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa G-30-S/PKI.
Kemudian Presiden
Soekarno menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap
Nawaksara. Dalam pelnawaksara presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS hanya
mempertanggungjawabkan pelaksanaan GBHN dan bukan hal lain.
Sehubungan
dengan permasalahan dan keadaan politik pada waktu itu, maka pada tanggal 9
Februari 1967 DPR GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar
mengadakan sidang istimewa. Sementara itu usaha-usaha untuk menenangkan keadaan
berjalan terus. Mr.Hardi, seorang sahabat Soekarno menemui Presiden Soekarno
dan memohon agar Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme
kepemimpinan Negara, karena adanya dualisme kepemimpinan itulah yang menjadi
sumber konflik politik.
Mr. Hardi
menyarankan agar Soekarno sebagai
mandataris MPRS menyatakan nonaktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan
menyetujui pembubaran PKI. Saran Mr. Hardi tersebut diterima oleh Soekarno.
Kemudian disusun surat penugasan mengenai pimpinan harian kepada pemegang Surat
Perintah 11 Maret 1966. Presiden menulis nota pribadi kepada Soeharto. Kemudian
Mr. Hardi pada tanggal 7 Februari 1967 menemui Soeharto dan menyerahkan konsep
surat.
Pada
tanggal 8 Februari 1967, soeharto bersama beberapa panglima membahas surat
tersebut. Para panglima berkesimpulan bahwa draf surat tersebut tidak dapat
diterima karena bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan
konflik. Pada tanggal 10 Februari 1967 ketidaksetujuan isi draf surat penugasan
disampaikan kepada presiden dari presiden menanyakan mana yang terbaik.
Kemudian Soeharto mengajukan draf yang isinya pernyataan bahwa presiden
berhalangan atau menyerahkan kekuasaan kepada pengemban Supersemar. Awalnya
Soekarno tidak berkenan dengan usulan tersebut., tetapi kemudian sikap
Soekarno melunak. Soekarno memerintahkan agar soeharto beserta panglima
berkumpul pada hari Minggu 19 Februari 1967 di Bogor. Presiden menyetujui draf
dan menandatangani pada tanggal 20 Februari 1967. Presiden meminta agar
diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967 dan tepat pukul 19.30
presiden membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.
Pada
tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat presiden
Republik Indonesia oleh ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setahun
setelah Jenderal Soeharto menjadi pejabat presiden , pada tanggal 27 Maret 1968
Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia dalam sidang umum V MPRS.
Melalui Tap. MPRS No. XLIV/MPRS/1968 Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai
Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR dari hasil
pemilu. Pengukuhan Jenderal Soeharto tersebut menandai berakirnya dualisme
kepemimpinan nasional dan menandai dimulainya pemerintahan Orde Baru