Masa Pemerintahan B. J. Habibie - Pelajar Masa Depan

MASA PEMERINTAHAN B. J. HABIBIE

masa pemerintahan b j habibie. program kerja bj habibie. kegagalan pemerintahan bj habibie. masa pemerintahan bj habibie ppt. makalah masa pemerintahan bj habibie. kebijakan politik presiden habibie pada masa reformasi. periode kepemimpinan bj habibie kondisi ekonomi dan kebijakan mengatasi krisis ekonomi. agenda reformasi bj habibie. reformasi di bidang politik pada masa pemerintahan bj habibie. reformasi di bidang ekonomi pada masa pemerintahan bj habibie. reformasi di bidang hukum pada masa pemerintahan bj habibie. langkah langkah yang dilakukan presiden bj habibie saat pemerintahannya. kesepakatan ciganjur 10 november 1998. pelaksanaan pemilu tahun 1999. sidang umum mpr tahun 1999. pelaksanaan referendum timor timur

Masa pemerintahan Presiden B. J Habibie berlangsung dari tanggal 21 Mei 1998 sampai dengan tanggal 20 Oktober 1999. Adapun dasar hukum pengangkatan B. J. Habibie adalah berdasarkan TAP. MPR No. VII/MPR/1973 yang berisi “Jika Presiden berhalangan, maka wakil Presiden ditetapkan menjadi Presiden”.

Pengangkatan B.J. Habibie sebagai presiden Republik Indonesia menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan ahli hukum. Adanya dua pendapat tersebut disebabkan oleh sistem hukum yang dimiliki tidak lengkap, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Pihak yang pro terhadap pengangkatan B. J. Habibie menganggap bahwa pengangkatan B. J. Habibie sebagai presiden sudah konstitusional, sesuai dengan ketentuan pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Adapun pihak yang kontra menyatakan bahwa naiknya B. J. Habibie menjadi presiden adalah inkonstitusional. Hal ini bertentangan dengan pasal 9 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Sebelum Presiden memangku jabatan, maka Presiden harus mengucapkan sumpah danjanji di depan MPR atau DPR”. B. J. Habibie tidak melakukan hal tersebut. B. J. Habibie mengucapkan sumpah dan janji di depan Makamah Agung dan beberapa orang anggota MPR dan DPR yang bukan bersifat kelembagaan.

Dalam Ketetapan MPR No. VII Tahun 1973 memungkinkan sumpah tersebut dilakukan di depan Mahkamah Agung. Namun pada saat itu tidak ada alasan yang kuat adanya halangan yang tidak memungkinkan sumpah dan janji presiden bisa dilakukan di depan MPR/DPR meskipun pada waktu itu gedung MPR/DPR masih dikuasai oleh mahasiswa. Selain itu, Soeharto seharusnya mengembalikan dahulu mandat itu kepada MPR yang mengangkatnya.

Secara hukum materiil (normative yuridis), naiknya B. J. Habibie menjadi presiden Republik Indonesia sah dan konstitusional. Namun secara hukum formal (hukum acara) hal tersebut tidak konstitusional, sebab perbuatan hukum yang sangat penting, yaitu pelimpahan wewenang dari Soeharto kepada B. J. Habibie harus melalui acara resmi yang konstitusional.

Pada waktu B. J. Habibie naik sebagai presiden Republik Indonesia, Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi terburuk. Hal tersebut disebabkan oleh krisis mata uang yang didorong oleh utang luar negeri yang besar sehingga menurunkan nilai rupiah menjadi seperempat dari nilai tahun 1997.Krisis yang telah menimbulkan kebangkrutan teknis terhadap sektor industri dan manufaktur serta sektor finansial yang  hampir ambruk, diperparah oleh musim kemarau panjang yang disebabkan oleh El Nino, yang mengakibatkan turunnya produksi beras.

Dalam pidato pertamanya pada tanggal 21 Mei 1998 (malam hari setelah dilantik sebagai presiden) pukul 19.30 WIB di Istana Merdeka yang disiarkan langsung melalui RRI dan TVRI, B. J. Habibie menyatakan tekadnya untuk melaksanakan reformasi. Pidato B. J. Habibie tersebut bisa dikatakan merupakan visi kepemimpinannya untuk menjawab tuntutan reformasi secara cepat dan tepat. Beberapa poin penting dari pidatonya tersebut adalah kabinetnya akan menyiapkan proses reformasi di ketiga bidang yaitu sebagai berikut.
a.      Di bidang politik antara lain dengan memperbarui berbagai perundang-undangan dalam rangka lebih meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik sebagaimana yang diamanatkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
b.      Di bidang ekonomi dengan mempercepat penyelesaian undang-undang yang menghilangkan praktik-praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.
c.       Di bidang ukum antara lain dengan meninjau kembali undang-undang subversi.
seperti disampaikan dalam pidato pertamanya bahwa pemerinthan B. J. Habibie akan komitmen pada aspirasi rakyat untuk memulihkan kehidupan ekonomi, sosial, meningkatkan kehidupan politik demokrasi, dan menegakkan kepastian hukum. Maka dari itu, fokus perhatian pemerintahan B.J Habibie di arahkan pada tiga bidang tersebut.          
Langkah-Langkah Yang Dilakukan Oleh Presiden B. J Habibie
A.      Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan

Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden B. J. Habbie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pmbangunan. Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri dari 36 menteri, yaitu 4 menteri Negara dengan tugas sebagai menteri koordinator, 20 menteri Negara yang memipin departemen, dan 12 menteri Negara yang memipin tugas tertentu.

Pada sidang pertama Kabinet Reformasi Kabinet  Reformasi Pembangunan yang berlangsung tanggal 25 Mei 1998, B. J. Habibie memberikan pengarahan bahwa pemerintah harus mengatasi krisis ekonomi dnegan dua sasaran pokok, yakni tersedianya bahan makanan pokok masyarakat dan berputarnya kembali roda perekonomian masyarakat. Adapun yang menjadi pusat perhatian Kabinet Reformasi Pembangunan adalah meningkatkan kualitas, produktivitas, dan koperasi karena terbukti memiliki ketahanan eknomi dalam menghadapi krisis.

Dalam sidang itu juga, B. J. Habibie memerintahkan bahwa departemen-departemen terkait secepatnya mengambil langkah persiapan dan pelaksanaan reformasi, khususnya menyangkut reformasi di bidang politik, bidang ekonomi dan bidang hukum. Perangkat perundang-undangan yang perlu diperbarui antara lain undang-undang pemilu, undang-undang tentang partai politik dan Golkar, undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, serta undang-undang tentang pemerintahan daerah.

B.      Reformasi di Bidang Politik
Beberapa hal berikut dilakukan oleh presiden B. J. Habibie dalam bidang politik adalah sebagai berikut :
i.                    Dalam hal menghindari adanya penguasa yang otoriter dengan masa kekuasaan yang tidak terbatas, diberlakukan pembatasan masa jabatan presiden. Seorang warga Negara Indonesia dibatasi menjadi presiden sebanyak dua kali masa jabatan saja.
ii.                  Diberlakukannya otonomi daerah yang lebih demokratis dan semakin luas. Dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan akan meminimalkan ancaman disintegrasi bangsa. Otonomi daerah ditetapkan melalui Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998.
iii.                Kebebasan berpolitik dilakukan dengan pencabutan pembatasan partai politik. Sebelumnya, dengan adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik, pada pertengahan bulan Oktober 1998 sudah tercatat sebanyak 80 partai politik dibentuk. Menjelang pemilihan umum, partai politik yang terdaftar mencapai 141 partai. Setelah diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 95 partai,dan yang berhak mengikuti pemilihan umum sebanyak 48 partai. Dalam hal kebebasan berpolitik, pemerintah juga telah mencabut larangan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan mengadakan rapat umum.
C.      Reformasi di Bidang Ekonomi
Pada awal pemerintahan Presiden B. J. Habibie keadaan ekonomi Indonesia sangat parah. Hal tersebut sebagai warisan pemerintahan Orde Baru. Agar bangsa Indonesia dapat segera keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, Presiden B. J. Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
1)      Melakukan rekapitulasi perbankan.
2)      Merekonstruksi perekonomian nasional.
3)      Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp10.000,00.
4)      Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
5)      Melaksanakan reformasi ekonomi seperti dengan mengikuti saran-saran dari Dana Moneter Internasional yang di modifikasi dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia yang semakin memburuk.

Sesuai dengan Tap. MPR No. X/MPR/1998 tentang Penanggulangan Krisis di Bidang Sosial Budaya yang terjadi sebagai Akibat dari Krisis Ekonomi. Pemerintah telah melaksanakan program jarring pengaman sosial (JPS). Program jaring pengaman sosial, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan, telah banyak membantu masyarakat miskin dalam situasi krisis.

Pada masa itu Presiden B. J. Habibie  pembangunan kelautan Indonesia mendapat perhatian yang cukup besar. Pembangunan kelautan merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk di dayagunakan dan di manfaatkan bagi kesejahteraan dan ketahanan bangsa Indonesia.

Secara garis besar reformasi ekonomi pada masa pemerintahan Presiden B. J. Habibie mempunyai tiga tujuan utama yaitu :
1.      menyediakan jaring pengaman sosial bagi mereka yang paling menderita akibat krisis.
2.      memperkuat basis sektor riil ekonomi.
3.      Merestrukturisasi  dan memperkuat sektor keuangan dan perbankan.

D.     Reformasi di Bidang Hukum
Sesuai dengan Tap MPR No X/MPR/1998 reformasi di bidang hukum pada masa pemerintahan B.J. Habibie diarahkan untuk menanggulangi krisis dan melaksanakan agenda reformasi di bidang hukum yang sekaligus dimaksudkan untuk menunjang upaya reformasi di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Keberhasilan menyelesaikan 68 produk perundang-undangan dalam waktu yang relatif singkat (dalam waktu 16 bulan). Setiap bulan rata-rata dihasilkan sebanyak 4,2 undang-undang yang jauh melebihi angka produktivitas legislatif selama masa pemerintahan Orde Baru yang hanya tercatat sebanyak 4,07 undang-undang per tahun (0,34 per bulan).

E.      Kebebasan Menyampaikan Pendapat

Pada masa pemerinahan Orde Baru kebebasan menyampaikan pendapat dibatasi. Pada masa pemerintahan B. J. Habibie kebebasan menyampaikan pendapat dibuka selebra-lebarnya. Presiden B. J. Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang akan menyampaikan pendapat dalam bentuk rapat umum dan unjuk rasa.

Kebijakan lainnya adalah pencabutan ketetapan untuk meminta surat izin terbit (SIT) bagi media massa cetak, sehingga media massa cetak tidak lagi khawatir dibredel melalui meknisme pencabutan surat izin terbit. Hal penting lainnya dalam kebebasan mengeluarkan pendapat bagi pekerja media massa adalah diberinya kebebasan untuk mendirikan organisasi-organisasi profesi. Ada era Soeharto, para wartawan diwajibkan menjadi anggota satu-satunya organisasi persatuan wartawan yang dibentuk oleh pemerintah.

Sidang Istimewa MPR Tahun 1998

Untuk mengatasi krisis politik yang berkepenjangan sebagai akibat mundurnya Soeharto sebgai presiden Republik Indonesia, diadakan Sidang istimewa MPR yang berlangsung pada tanggal 10-13 November 1998. Menjelang Sidang Istimewa MPR tersebut terjadi aksi unjuk rasa para mahasiswa dan organisasi sosial politik dengan tuntutan sebagai berikut.
a)      Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya.
b)      Hapuskan KKN.
c)      Hapuskan P4 dan asa tunggal.
d)      pembentukan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.
e)      Pemilu yang luber dan jurdil.
f)       Adili Soeharto dan kroninya
g)      Menolak dwifungsi ABRI dan pengangkatan wakil ABRI dalam MPR/DPR dan DPRD

Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan pada waktu Sidang Isimewa MPR 1998, dilakukan pengamanan secara luar biasa. Jumlah aparat yang dikerahkan terdiri dari polisi dan TNI mencapai 150 SSK (satuan setingkat kompi) dengan jumlah personel 15.000 prajurit yang ditambah dengan 125.000 warga dari berbagai organisasi kemasyarakatan. Unuk petama kalinya pengamanan Sidang Istimewa MPR melibatkan warga sipil yang dikenal dengan nama Pam Swakarsa. Anggota Pam Swakarsa terdiri dari Forum Umat Islam Penegak Keadilan dan Konstitusi (Furkon), organisasi kepemudaan, seperti Pemuda Pancasila, Banser (GP Ansor), AMPI, FKPPI, dan kelompok Pendekar Banten.

Dengan adanya tekanan massa di luar gedung MPR, akhirnya pada tanggal 13 November 1998, sidang istimewa ditutup. Sidang istimewa MPR tersebut berakhir dengan menghasilkan dua belas ketetapan yang diwarna voting dan aksi walkout dari FPP MPR menyangkut keberadaan ABRI di dalam lembaga perwakilan. Dari dua belas ketetapan MPR tersebut, ada empat ketetapan yang memperlihatkan adanya upaya untuk mengakomodasi tuntutan reformasi. Berikut empat ketetapan yang memperlihatkan adanya upaya untuk mengakomodasi tuntutan reformasi.
i.                    Ketetapan MPR No. VIII Tahun 1998 yang memungkinkan UUD 1945 dapat diamandemen.
ii.                  Ketetapan MPR No. XII Tahun 1998 mengenai Pencabutan Ketetapan MPR No. IV Tahun 1993 Tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam Rangka  menyukseskan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
iii.                Ketetapan MPR No. XIII Tahun 1998 mengenai Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Maksimal Dua Periode. Dengan ketetapan ini, tidak ada lagi seorang presiden yang dapat menjabat selama tujuh periode seperti Soeharto.
iv.                 Ketetapan MPR No. XVIII Tahun 1998 yang menyatakan Pancasila Tidak Lagi Dijadikan Sebagai Asas Tunggal. Seluruh organisasi sosial dan politik tidak wajib menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi.

Kesepakatan Ciganjur 10 November 1998

Dengan diprakarsai oleh para mahasiswa yang bergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ), ITB Bandung, dan Universitas Siliwangi pada tanggal 10 November 1998 empat tokoh reformasi (K. H. Abdurhaman Wahid, Amien Rais, Sri Sultan Hamengku Buwana X, dan Megawati Soekarno Putri mengadakan dialog nasional di kediaman K. H. Abdurahman Wahid di Ciganjur, Jakarta Selatan. Dalam dialg tersebut menghasilkan kesepakatan :
a)      Melaksanakan reformasi sesuai kepentingan generasi bangsa.
b)      Mengusut pelaku KKN dengan diawali pengusutan KKN yang dilakukan oleh Soeharto dan kroninya.
c)      Penghapusan Dwifungsi ABRI secara bertahap
d)      Mengupayakan terciptanya kesatuan dan persatuan nasional.
e)      mendesak seluruh anggota Pam Swakarsa untuk membubarkan diri.
f)       Menegakkan kembali kedaulatan rakyat.
g)      melaksanakan pemilu yang luber dan jurdil untuk mengakhiri masa pemerintahan transisi
h)      Melaksanakan desentralisasi pemerintahan sesuai dengan otonomi daerah.
Pelaksanaan Pemilu Tahun 1999
Pada tanggal 7 Juni 1999 diadakan pemilu untuk pertama setelah reformasi bergulir. Bila dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 7 Juni 1999 paling demokratis. Pemilu ini dilaksanakan dengan prinsip luber dan jurdil. Dari 141 partai politik yang mendaftar kan ke Departemen Dalam Negeri, hanya 48 partai politik yang lolos verifikasi dan memenuhi syarat menjadi organisasi peserta pemilu (OPP).

Sebelum menyelenggarakan pemilu, pemerintah mengajukan RUU mengenai partai politik, serta susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Setelah RUU disetujui oleh DPR dan disahkan menjadi UU, kemudian presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil partai politik dan wakil pemerintah.

Hal yang membedakan pemilu 1999 dengan pemilu sebelumnya (kecuali pemilu 1955) adalah diikuti oleh banyak partai politik. Ini memungkinkan adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Dengan masa persiapan yang tergolong singkat pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini dapat dikatakan sesuai dengan jadwal, 7 Juni 1999.

Berdasarkan keputusan KPU, pada 1 Sepetember 1999 Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) melakukan pembagian kursi hasil pemilu. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan lima partai besar menduduki 417 kursi di DPR, atau 90,26% dari 462 kursi yang diperebutkan.

PDIP muncul sebagai pemenang pemilu dengan meraih 153 kursi, Golkar meraih 120 kursi, PPP 58 kursi, PKB 51 kursi, dan PAN 34 kursi. Berikut komposisi jumlah kursi di DPR hasil pemilu tahun 1999.
a.      Fraksi PDIP mendapat 153 kursi atau 30,60%
b.      Fraksi Golkar mendapat 120 kursi atau 24%
c.       Fraksi PPP mendpat 58 kursi atau 11,50%
d.      Fraksi PKB mendapat 51 kursi atau 10,20%
e.      Fraksi PAN mendapat 34 kursi atau 6,80%
f.        Fraksi PBB mendapat 13 kursi atau 2,60%
g.      Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia mendapat 17 kursi atau 3,40%
h.      Fraksi Islam mendapat 16 kursi atau 3,20%
i.        Fraksi TNI/Polri mendapat 38 kursi atau 7,60%
Sidang Umum MPR Tahun 1999
MPR yang terbentuk melalui hasil pemilu tahun 1999 berhasil menetapkan GBHN, melaksanakan amandemen pertama terhadap UUD 1945, serta memilih presiden dan wakil presiden. Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, MPR berhasil memilih K. H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden Republik Indonesia dan sehari kemudian memilih Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pelaksanaan Referendum Timor Timur
Salah satu peristiwa terpenting dalam masa pemerintahan Presiden B. J. Habibie adalah diadakannya referendum bagi rakyat Timor Timur. Pada anggal 30 Agustus 1999 rakyat Timor Timur melakukan jajak pendapat. Hasil jajak pendapat yang diumumkan oleh PBB pada tanggal 4 September 1999 adalah 78,5% menolak dan 21,5% menerima. Hasil jajak pendapat menimbulkan rasa tidak puas pada sebagian penduduk. Akhirnya PBB mengirim pasukan internasional yang dipimpin Australia. Pasukan tersebut dinamakan Interfet (International Force for East Timor). Kedudukan Timor Timur sebagai provinsi ke – 27 dicabut oleh MPR dengan Tap. MPR No. V/MPR/1999. Dengan demikian Tap. MPR No. VI/MPR/1978 dinyatakan tidak berlaku lagi. Akhirnya Timor Timur merdeka pada tanggal 20 Mei 2002 dengan nama Timor Leste

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »