MASA PEMERINTAHAN B. J. HABIBIE
Masa pemerintahan Presiden B. J Habibie berlangsung dari tanggal 21 Mei 1998 sampai dengan tanggal 20 Oktober 1999. Adapun dasar hukum pengangkatan B. J. Habibie adalah berdasarkan TAP. MPR No. VII/MPR/1973 yang berisi “Jika Presiden berhalangan, maka wakil Presiden ditetapkan menjadi Presiden”.
Pengangkatan B.J. Habibie sebagai presiden Republik
Indonesia menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan ahli hukum. Adanya
dua pendapat tersebut disebabkan oleh sistem hukum yang dimiliki tidak lengkap,
sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Pihak yang pro terhadap
pengangkatan B. J. Habibie menganggap bahwa pengangkatan B. J. Habibie sebagai
presiden sudah konstitusional, sesuai dengan ketentuan pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden
sampai habis masa jabatannya”. Adapun pihak yang kontra menyatakan bahwa
naiknya B. J. Habibie menjadi presiden adalah inkonstitusional. Hal ini
bertentangan dengan pasal 9 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Sebelum Presiden
memangku jabatan, maka Presiden harus mengucapkan sumpah danjanji di depan MPR
atau DPR”. B. J. Habibie tidak melakukan hal tersebut. B. J. Habibie
mengucapkan sumpah dan janji di depan Makamah Agung dan beberapa orang anggota
MPR dan DPR yang bukan bersifat kelembagaan.
Dalam Ketetapan MPR No. VII Tahun 1973 memungkinkan
sumpah tersebut dilakukan di depan Mahkamah Agung. Namun pada saat itu tidak
ada alasan yang kuat adanya halangan yang tidak memungkinkan sumpah dan janji
presiden bisa dilakukan di depan MPR/DPR meskipun pada waktu itu gedung MPR/DPR
masih dikuasai oleh mahasiswa. Selain itu, Soeharto seharusnya mengembalikan
dahulu mandat itu kepada MPR yang mengangkatnya.
Secara hukum materiil (normative yuridis), naiknya
B. J. Habibie menjadi presiden Republik Indonesia sah dan konstitusional. Namun
secara hukum formal (hukum acara) hal tersebut tidak konstitusional, sebab
perbuatan hukum yang sangat penting, yaitu pelimpahan wewenang dari Soeharto
kepada B. J. Habibie harus melalui acara resmi yang konstitusional.
Pada waktu B. J. Habibie naik sebagai presiden
Republik Indonesia, Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi terburuk. Hal
tersebut disebabkan oleh krisis mata uang yang didorong oleh utang luar negeri
yang besar sehingga menurunkan nilai rupiah menjadi seperempat dari nilai tahun
1997.Krisis yang telah menimbulkan kebangkrutan teknis terhadap sektor industri
dan manufaktur serta sektor finansial yang
hampir ambruk, diperparah oleh musim kemarau panjang yang disebabkan
oleh El Nino, yang mengakibatkan turunnya produksi beras.
Dalam pidato pertamanya pada tanggal 21 Mei 1998
(malam hari setelah dilantik sebagai presiden) pukul 19.30 WIB di Istana
Merdeka yang disiarkan langsung melalui RRI dan TVRI, B. J. Habibie menyatakan
tekadnya untuk melaksanakan reformasi. Pidato B. J. Habibie tersebut bisa
dikatakan merupakan visi kepemimpinannya untuk menjawab tuntutan reformasi
secara cepat dan tepat. Beberapa poin penting dari pidatonya tersebut adalah
kabinetnya akan menyiapkan proses reformasi di ketiga bidang yaitu sebagai
berikut.
a. Di
bidang politik antara lain dengan memperbarui berbagai perundang-undangan dalam
rangka lebih meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik sebagaimana yang
diamanatkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
b. Di
bidang ekonomi dengan mempercepat penyelesaian undang-undang yang menghilangkan
praktik-praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.
c. Di
bidang ukum antara lain dengan meninjau kembali undang-undang subversi.
seperti disampaikan dalam pidato pertamanya bahwa
pemerinthan B. J. Habibie akan komitmen pada aspirasi rakyat untuk memulihkan
kehidupan ekonomi, sosial, meningkatkan kehidupan politik demokrasi, dan
menegakkan kepastian hukum. Maka dari itu, fokus perhatian pemerintahan B.J
Habibie di arahkan pada tiga bidang tersebut.
Langkah-Langkah Yang Dilakukan Oleh Presiden B. J Habibie
A. Membentuk
Kabinet Reformasi Pembangunan
Pada
tanggal 22 Mei 1998, Presiden B. J. Habbie membentuk kabinet baru yang
dinamakan Kabinet Reformasi Pmbangunan. Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri
dari 36 menteri, yaitu 4 menteri Negara dengan tugas sebagai menteri
koordinator, 20 menteri Negara yang memipin departemen, dan 12 menteri Negara
yang memipin tugas tertentu.
Pada sidang
pertama Kabinet Reformasi Kabinet
Reformasi Pembangunan yang berlangsung tanggal 25 Mei 1998, B. J.
Habibie memberikan pengarahan bahwa pemerintah harus mengatasi krisis ekonomi
dnegan dua sasaran pokok, yakni tersedianya bahan makanan pokok masyarakat dan
berputarnya kembali roda perekonomian masyarakat. Adapun yang menjadi pusat
perhatian Kabinet Reformasi Pembangunan adalah meningkatkan kualitas,
produktivitas, dan koperasi karena terbukti memiliki ketahanan eknomi dalam
menghadapi krisis.
Dalam
sidang itu juga, B. J. Habibie memerintahkan bahwa departemen-departemen
terkait secepatnya mengambil langkah persiapan dan pelaksanaan reformasi,
khususnya menyangkut reformasi di bidang politik, bidang ekonomi dan bidang
hukum. Perangkat perundang-undangan yang perlu diperbarui antara lain
undang-undang pemilu, undang-undang tentang partai politik dan Golkar,
undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, serta
undang-undang tentang pemerintahan daerah.
B. Reformasi
di Bidang Politik
Beberapa
hal berikut dilakukan oleh presiden B. J. Habibie dalam bidang politik adalah
sebagai berikut :
i.
Dalam hal menghindari adanya penguasa yang otoriter
dengan masa kekuasaan yang tidak terbatas, diberlakukan pembatasan masa jabatan
presiden. Seorang warga Negara Indonesia dibatasi menjadi presiden sebanyak dua
kali masa jabatan saja.
ii.
Diberlakukannya otonomi daerah yang lebih demokratis
dan semakin luas. Dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah serta
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan akan meminimalkan
ancaman disintegrasi bangsa. Otonomi daerah ditetapkan melalui Ketetapan MPR
No. XV/MPR/1998.
iii.
Kebebasan berpolitik dilakukan dengan pencabutan
pembatasan partai politik. Sebelumnya, dengan adanya kebebasan untuk mendirikan
partai politik, pada pertengahan bulan Oktober 1998 sudah tercatat sebanyak 80
partai politik dibentuk. Menjelang pemilihan umum, partai politik yang
terdaftar mencapai 141 partai. Setelah diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum
menjadi sebanyak 95 partai,dan yang berhak mengikuti pemilihan umum sebanyak 48
partai. Dalam hal kebebasan berpolitik, pemerintah juga telah mencabut larangan
mengeluarkan pendapat, berserikat, dan mengadakan rapat umum.
C. Reformasi
di Bidang Ekonomi
Pada awal
pemerintahan Presiden B. J. Habibie keadaan ekonomi Indonesia sangat parah. Hal
tersebut sebagai warisan pemerintahan Orde Baru. Agar bangsa Indonesia dapat
segera keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, Presiden B. J. Habibie
melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
1) Melakukan
rekapitulasi perbankan.
2) Merekonstruksi
perekonomian nasional.
3) Menaikkan
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp10.000,00.
4) Melikuidasi
beberapa bank bermasalah.
5) Melaksanakan
reformasi ekonomi seperti dengan mengikuti saran-saran dari Dana Moneter
Internasional yang di modifikasi dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian
Indonesia yang semakin memburuk.
Sesuai
dengan Tap. MPR No. X/MPR/1998 tentang Penanggulangan Krisis di Bidang Sosial
Budaya yang terjadi sebagai Akibat dari Krisis Ekonomi. Pemerintah telah
melaksanakan program jarring pengaman sosial (JPS). Program jaring pengaman
sosial, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan, telah banyak membantu
masyarakat miskin dalam situasi krisis.
Pada masa
itu Presiden B. J. Habibie pembangunan
kelautan Indonesia mendapat perhatian yang cukup besar. Pembangunan kelautan
merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan wilayah perairan
Indonesia sebagai wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk di
dayagunakan dan di manfaatkan bagi kesejahteraan dan ketahanan bangsa
Indonesia.
Secara
garis besar reformasi ekonomi pada masa pemerintahan Presiden B. J. Habibie
mempunyai tiga tujuan utama yaitu :
1. menyediakan
jaring pengaman sosial bagi mereka yang paling menderita akibat krisis.
2. memperkuat
basis sektor riil ekonomi.
3. Merestrukturisasi dan memperkuat sektor keuangan dan perbankan.
D. Reformasi
di Bidang Hukum
Sesuai
dengan Tap MPR No X/MPR/1998 reformasi di bidang hukum pada masa pemerintahan
B.J. Habibie diarahkan untuk menanggulangi krisis dan melaksanakan agenda
reformasi di bidang hukum yang sekaligus dimaksudkan untuk menunjang upaya
reformasi di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Keberhasilan
menyelesaikan 68 produk perundang-undangan dalam waktu yang relatif singkat
(dalam waktu 16 bulan). Setiap bulan rata-rata dihasilkan sebanyak 4,2
undang-undang yang jauh melebihi angka produktivitas legislatif selama masa
pemerintahan Orde Baru yang hanya tercatat sebanyak 4,07 undang-undang per
tahun (0,34 per bulan).
E. Kebebasan
Menyampaikan Pendapat
Pada masa
pemerinahan Orde Baru kebebasan menyampaikan pendapat dibatasi. Pada masa
pemerintahan B. J. Habibie kebebasan menyampaikan pendapat dibuka
selebra-lebarnya. Presiden B. J. Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang
akan menyampaikan pendapat dalam bentuk rapat umum dan unjuk rasa.
Kebijakan
lainnya adalah pencabutan ketetapan untuk meminta surat izin terbit (SIT) bagi
media massa cetak, sehingga media massa cetak tidak lagi khawatir dibredel
melalui meknisme pencabutan surat izin terbit. Hal penting lainnya dalam
kebebasan mengeluarkan pendapat bagi pekerja media massa adalah diberinya
kebebasan untuk mendirikan organisasi-organisasi profesi. Ada era Soeharto,
para wartawan diwajibkan menjadi anggota satu-satunya organisasi persatuan
wartawan yang dibentuk oleh pemerintah.
Sidang Istimewa MPR Tahun 1998
Untuk mengatasi krisis politik
yang berkepenjangan sebagai akibat mundurnya Soeharto sebgai presiden Republik
Indonesia, diadakan Sidang istimewa MPR yang berlangsung pada tanggal 10-13
November 1998. Menjelang Sidang Istimewa MPR tersebut terjadi aksi unjuk rasa
para mahasiswa dan organisasi sosial politik dengan tuntutan sebagai berikut.
a) Pelaksanaan
otonomi daerah yang seluas-luasnya.
b) Hapuskan
KKN.
c) Hapuskan
P4 dan asa tunggal.
d) pembentukan
pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.
e) Pemilu
yang luber dan jurdil.
f) Adili
Soeharto dan kroninya
g) Menolak
dwifungsi ABRI dan pengangkatan wakil ABRI dalam MPR/DPR dan DPRD
Untuk mengantisipasi hal-hal yang
tidak diinginkan pada waktu Sidang Isimewa MPR 1998, dilakukan pengamanan
secara luar biasa. Jumlah aparat yang dikerahkan terdiri dari polisi dan TNI
mencapai 150 SSK (satuan setingkat kompi) dengan jumlah personel 15.000
prajurit yang ditambah dengan 125.000 warga dari berbagai organisasi kemasyarakatan.
Unuk petama kalinya pengamanan Sidang Istimewa MPR melibatkan warga sipil yang
dikenal dengan nama Pam Swakarsa. Anggota Pam Swakarsa terdiri dari Forum Umat
Islam Penegak Keadilan dan Konstitusi (Furkon), organisasi kepemudaan, seperti
Pemuda Pancasila, Banser (GP Ansor), AMPI, FKPPI, dan kelompok Pendekar Banten.
Dengan adanya tekanan massa di
luar gedung MPR, akhirnya pada tanggal 13 November 1998, sidang istimewa
ditutup. Sidang istimewa MPR tersebut berakhir dengan menghasilkan dua belas
ketetapan yang diwarna voting dan aksi walkout dari FPP MPR menyangkut
keberadaan ABRI di dalam lembaga perwakilan. Dari dua belas ketetapan MPR
tersebut, ada empat ketetapan yang memperlihatkan adanya upaya untuk
mengakomodasi tuntutan reformasi. Berikut empat ketetapan yang memperlihatkan
adanya upaya untuk mengakomodasi tuntutan reformasi.
i.
Ketetapan MPR No. VIII Tahun 1998 yang
memungkinkan UUD 1945 dapat diamandemen.
ii.
Ketetapan MPR No. XII Tahun 1998 mengenai
Pencabutan Ketetapan MPR No. IV Tahun 1993 Tentang Pemberian Tugas dan Wewenang
Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam Rangka menyukseskan Pembangunan Nasional sebagai
Pengamalan Pancasila.
iii.
Ketetapan MPR No. XIII Tahun 1998 mengenai
Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Maksimal Dua Periode.
Dengan ketetapan ini, tidak ada lagi seorang presiden yang dapat menjabat
selama tujuh periode seperti Soeharto.
iv.
Ketetapan MPR No. XVIII Tahun 1998 yang
menyatakan Pancasila Tidak Lagi Dijadikan Sebagai Asas Tunggal. Seluruh
organisasi sosial dan politik tidak wajib menjadikan Pancasila sebagai
satu-satunya asas organisasi.
Kesepakatan Ciganjur 10 November 1998
Dengan diprakarsai oleh para mahasiswa yang bergabung
dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ), ITB Bandung, dan
Universitas Siliwangi pada tanggal 10 November 1998 empat tokoh reformasi (K.
H. Abdurhaman Wahid, Amien Rais, Sri Sultan Hamengku Buwana X, dan Megawati
Soekarno Putri mengadakan dialog nasional di kediaman K. H. Abdurahman Wahid di
Ciganjur, Jakarta Selatan. Dalam dialg tersebut menghasilkan kesepakatan :
a) Melaksanakan
reformasi sesuai kepentingan generasi bangsa.
b) Mengusut
pelaku KKN dengan diawali pengusutan KKN yang dilakukan oleh Soeharto dan
kroninya.
c) Penghapusan
Dwifungsi ABRI secara
bertahap
d) Mengupayakan
terciptanya kesatuan dan persatuan nasional.
e) mendesak
seluruh anggota Pam Swakarsa untuk membubarkan diri.
f) Menegakkan
kembali kedaulatan rakyat.
g) melaksanakan
pemilu yang luber dan jurdil untuk mengakhiri masa pemerintahan transisi
h) Melaksanakan
desentralisasi pemerintahan sesuai dengan otonomi daerah.
Pelaksanaan
Pemilu Tahun 1999
Pada tanggal 7 Juni 1999
diadakan pemilu untuk pertama setelah reformasi bergulir. Bila dibandingkan
dengan pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 7 Juni 1999 paling demokratis. Pemilu
ini dilaksanakan dengan prinsip luber dan jurdil. Dari 141 partai politik yang
mendaftar kan ke Departemen Dalam Negeri, hanya 48 partai politik yang lolos
verifikasi dan memenuhi syarat menjadi organisasi peserta pemilu (OPP).
Sebelum menyelenggarakan pemilu,
pemerintah mengajukan RUU mengenai partai politik, serta susunan dan kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD. Setelah RUU disetujui oleh DPR dan disahkan menjadi UU,
kemudian presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya
terdiri dari wakil partai politik dan wakil pemerintah.
Hal yang membedakan pemilu 1999
dengan pemilu sebelumnya (kecuali pemilu 1955) adalah diikuti oleh banyak
partai politik. Ini memungkinkan adanya kebebasan untuk mendirikan partai
politik. Dengan masa persiapan yang tergolong singkat pelaksanaan pemungutan
suara pada pemilu 1999 ini dapat dikatakan sesuai dengan jadwal, 7 Juni 1999.
Berdasarkan keputusan KPU, pada
1 Sepetember 1999 Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) melakukan pembagian kursi
hasil pemilu. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan lima partai besar menduduki
417 kursi di DPR, atau 90,26% dari 462 kursi yang diperebutkan.
PDIP muncul sebagai pemenang
pemilu dengan meraih 153 kursi, Golkar meraih 120 kursi, PPP 58 kursi, PKB 51
kursi, dan PAN 34 kursi. Berikut komposisi jumlah kursi di DPR hasil pemilu
tahun 1999.
a. Fraksi
PDIP mendapat 153 kursi atau 30,60%
b. Fraksi
Golkar mendapat 120 kursi atau 24%
c. Fraksi
PPP mendpat 58 kursi atau 11,50%
d. Fraksi
PKB mendapat 51 kursi atau 10,20%
e. Fraksi
PAN mendapat 34 kursi atau 6,80%
f.
Fraksi PBB mendapat 13 kursi atau 2,60%
g. Fraksi
Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia mendapat 17 kursi atau 3,40%
h. Fraksi
Islam mendapat 16 kursi atau 3,20%
i.
Fraksi TNI/Polri mendapat 38 kursi atau 7,60%
Sidang Umum
MPR Tahun 1999
MPR yang terbentuk melalui hasil pemilu tahun 1999 berhasil menetapkan
GBHN, melaksanakan amandemen pertama terhadap UUD 1945, serta memilih presiden
dan wakil presiden. Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, MPR berhasil memilih
K. H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden Republik Indonesia dan sehari kemudian
memilih Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pelaksanaan
Referendum Timor Timur
Salah satu peristiwa
terpenting dalam masa pemerintahan Presiden B. J. Habibie adalah diadakannya
referendum bagi rakyat Timor Timur. Pada anggal 30 Agustus 1999 rakyat Timor
Timur melakukan jajak pendapat. Hasil jajak pendapat yang diumumkan oleh PBB
pada tanggal 4 September 1999 adalah 78,5% menolak dan 21,5% menerima. Hasil
jajak pendapat menimbulkan rasa tidak puas pada sebagian penduduk. Akhirnya PBB
mengirim pasukan internasional yang dipimpin Australia. Pasukan tersebut
dinamakan Interfet (International Force for East Timor). Kedudukan Timor Timur
sebagai provinsi ke – 27 dicabut oleh MPR dengan Tap. MPR No. V/MPR/1999.
Dengan demikian Tap. MPR No. VI/MPR/1978 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Akhirnya Timor Timur merdeka pada tanggal 20 Mei 2002 dengan nama Timor Leste