Contoh Teks Editorial atau Teks Opini Beserta Strukturnya Lengkap
Assalamuallaikum teman-teman. Kali ini kita akan bahas tentang teks editorial atau teks opini beserta strukturnya. Teks Editorial. Teks Opini. Contoh teks editorial beserta strukturnya. Contoh teks opini beserta strukturnya. contoh teks editorial. contoh teks opini.
Contoh Teks Editorial
Menjual Sembari Menjaga Nirwana
Pernyataan Pendapat :
Indonesia adalah surga sekaligus kisah nyata, bukan isapan jempol belaka atau romantisme dari masa lalu. Ada begtu banyak tempat indah yang tersembunyi dan masih perawan. Sayangnya, tempat-tempat itu belum digarap serius sebagai tujuan wisata. Jangankan membat program wisata yang kreatif, membangun prasarananya saja kerap tidak dilakukan pemerintah.
Argumentasi :
Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan keindahan sejumlah tempat terancam oleh eksploitasi alam yang salah dan serakah. Padahal, dengan pariwisata, daerah bisa mendapatkan penghasilan sekaligus memelihara alam selingkungannya.
Di kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, ironi itu terpampang nyata. Kepulauan itu memiliki pantai-pantai molek, laut yang bening dan tenang, serta ikan berwarna-warni yang menyelinap di antara terumbu karang yang indah. Menjelang senja, matahari menjadi bola merah yang ditelan laut jingga. Namun disana juga berlangsung perusakan alam yang kerap di dukung para politikus. Mereka datang hanya pada saat kampanye untuk memancing suara, bahkan mempersilahkan nelayan untuk mengebom terumbu karang. Keinginan pemerintah pusat untuk menjadikan sebagai taman nasional ditentang justru oleh pemerintah daerah.
Di Mentawai, Sumatera Barat, lain lagi yang terjadi. Kepualauan ini memiliki ombak terbaik untuk berselancar. Di dunia ini hanya ada tiga tempat yang memiliki barrel-ombak berbentuk terowonganyang dapat ditemui sepanjang waktu: Hawaii, Haiti dan Mentawai. Namun, pemerintah daerah seolah-olah tidak berdaya di sana. Resor tumbuh menjamur, tetapi kontribusi mereka kepada ekonomi daerah amat minimal. Mungkin ini merupakan bentuk "protes" mereka kepada pemerintah daerah yang tidak serius membangun prasarana wisata disana.
Dengan ribuan "surga yang tersembunyi" itu, pemerintah seharusnya bisa menaikkan jumlah wisatawan asing yang datang ke negeri ini. Tahun lalu, menurut catatan Badan Pusat Statistik, hanya ada 8 juta wisatawan asing yang datang berkunjung ke Indonesia, Jangankan dibandingkan dengan Prancis yang mampu mendatangkan 83 juta turis tahun lalu, jumlah wisatawan asing ke Indonesia masih jauh dari Malaysia, yang menurut United Nations World Tourism Organization kedatangan 25 juta pelancong pada 2012. Ini menempatkan Malaysia pada peringkat ke-10 negara dengan jumlah wisatawan asing terbanyak.
Problem utama dari tidak berkembangnya pariwisata di Indonesia adalah ceteknya kesadaran akan potensi yang kita miliki. Pemerintah pusat ataupun daerah masih lebih senang mendpatkan uang dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam. Mereka lebih suka membabat hutan untuk mengambil kayunya, menggali buminya untuk mengeduk mineral di dalamnya, atau menggantikan pepohonan hutan dengan kelapa sawit. Pariwisata dianggap tidak terlalu menguntungkan terutama untuk pejabat yang korup. Tidak ada resor atau pengelola wisata yang bisa membayar setoran ke pejabat hutan atau pemilik tambang.
Kesadaran menjaga alam dan mengembangkan potensi wisata justru datang dari operator wisata. Di Togean, seorang pemilik resor harus membayar nelayan secara berkala agar mereka tidak memburu ikan dengan bom. Ia berupaya menyadarkan masyarakat tentang arti penting keindahan alam di halaman rumah mereka. Di Hulu Bahaum Kalimantan Utara, seorang ketua adat besar berhasil menyadarkan masyarakat untuk menjaga hutan. Bersama lembaga seperti WWF, masyarakat di sana mengembangkan wisata sungai dan rimba.
Pemerintah harus lebih serius memikirkan program-program untuk membungkus potensi ini agar lebih menarik. Singapura, misalnya pulau kecil yang penuh beton itu mampu membuat banyak atraksi wisata-wisata sebaian besar artifisial dan terlihat lebih indah di iklan yang mampu menarik 15 juta wisatawan asing. Hampir dua kali lipat dari yang ke Indonesia
Selama ini pemerintah hanya menjual Bali dan Bali, atau kalau mau dikatakan agak berpandangan luas sedikit bergesernya pun paling-paling hanya ke Yogyakarta dan Danau Toba. Padahal tempat-tempat itu tidak perlu "dijual" lagi dan sebaiknya dibiarkan jalan sendiri. Berapa banyak peminat wisata yan tahu, misalnya, bahwa Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, di pertemuan antara Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan arus surut Sungai Kampar, terdapat "bono" , tidal bore yang dirindukan para selancar sungai, dan diakui sebagai yang terbaik di dunia.
Pernyataan Ulang Pendapat :
Indonesia memang surga sekaligus kisah nyata. Di tangan para pemangku kepentingan terletak tanggung jawab merayakannya
Mitigasi Belum Optimal
Pernyataan pendapat :
Tanpa kebijakan permanen menghadapi bencana gunung, penyelamatan morat-marit. Hindari simpang siur media sosial.
Pemerintah kurang cekatan dalam menanggulangi dampak erupsi. Seolah-olah tak belajar dari akibat letusan Sinabung yang morat-marit, dari penyediaan masker sampai pasokan air minum, selimut, dan obat-obatan, pemerintah terkesan kurang sigap-tanggap. Terkatung-katungnya sejumlah pengungsi karena pos penampungan mereka ternyata sudah digunakan pengungsi lain membuktikan manajemen penanggulangan yang serba dadakan.
Argumentasi :
Operasi tanggap darurat yang dilakukan pemerintah terkesan sebatas respons reaktif, spontan, dan sporadis. Sudah saatnya kita memiliki kebijakan permanen yang mampu mengantisipasi dan meminimalkan dampak bencana, yakni kebijakan yang berangkat dari database pemetaan daerah rawan letusan gunung berapi. ibutuhkan operasi dengan persiapan koordinasi penyelamatan, penyediaan infrastruktur, sampai pelatihan relawan yang dilakukan secara prabencana.
Negara seperti Jepang, yang merupakan langganan gempa, secara sistemik memiliki program kesiap-siagaan menghadapi bencana. Mereka menyiapkan teknologi tahan bencana dan membangun sistem sosial yang tanggap bencana. Mereka menginginkan masyarakat memiliki kultur sadar bencana yang rasional. Sedangkan dalam pikir masyarakat kita, letusan gunung masih dianggap sesuatu yang insidental, yang walaupun merupakan malapetaka tetap mengandung "hikmah" tertentu.
Kemampuan pemeirntah memberikan informasi penting yang harus dipatuhi masyarakat masih lemah. Akibatnya, banyak korban jatuh yang sebetulnya bisa dihindari. Erupsi Kelud, misalnya, tak banyak memakan korban langsung. Beberapa orang tewas karena keruntuhan atap rumah ketika membersihkan debu yang menumpuk di bubungan.
Tatkala hujan turun, air membuat debu mengeras, menjadi mirip campuran semen. Atap pun ambruk karena tak kuat menahan beban. Masih ada kemungkinan korban bertambah akibat masyarakat melanggar zona bahaya. Dalam radius sepuluh kilometer, masyarakat dilarang masuk karena kemungkinan datangnya awan panas. Tetapi, dalam kenyataannya, banyak penduduk menerobos karena menganggap keadaan sudah aman.
Kesimpang-siuran informasi hampir selalu terulang pada setiap bencana. Setelah letusan kelud, di media sosial ramai dibicarakan Gunung Bromo-Semeru akan menyusul. Isu palsu ini bisa membuat panik. Erupsi tak mirip seperti virus influenza. Setiap gunung memiliki aktivitas vulkanis sendiri-sendiri, tidak bergantung gunung lain.
Pernyataan Ulang Pendapat :
Seyogianya, pemerintah tangkas memberi informasi yang terang-benderang, yang tingkat akurasinya mampu menyelamatkan masyarakat. Pada kenyataannya, masyarakat lebih sering mempercayai prediksi dari sumber tak jelas, misalnya "juru kunci". Pemerintah bagaimanapun harus mampu menyinergikan deteksi bencana yang bertolak dari ilmu engetahuan dan pengalaman lokal.
Tugas mitigasi adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang ciri-ciri letusan gunung secara ilmiah. Tugas mitigasi juga membangun manajemen rasional penanggulangan berbaris masyarakat. Daripada menghamburkan uang untuk hal-hal tak penting, lebih baik pemerintah mulai menyiapkan infrstruktur mitigasi yang benar.